HUBUNGAN PEPRES PENGADAAN VZ PERMEN PU 31/PRT/2015 PADA PEKERJAAN JASA KONTRUKSI, DAN TERKAIT CARA PEMAHAMAN PERMEN PU PASAL 6D AYAT 5 TERKAIT PASAL 100 AYAT 3

Sejak terbitnya Peraturan terbaru kementrian Umum  Nomer 31/PRT/2015, yang ditetapkan pada tanggal 1 Juni 2015, sebagai perubahan ke empat  Peraturan Kementrian Umum Nomer  07 /PRT/2011, khususnya ketentuan pasal 6d ayat 5 tentang pembagian wilayah kualifikasi, menjadi pembahasan baru dalam dunia pengadaan khususnya jasa Kontruksi. Banyak yang belum bisa menerima kehadiran ketentuan aturan tersebut, baik dari sisi Pokja dan Penyedia jasa kontruksi itu sendiri, Alhasilnya, pada saat Pokja ingin menetapkan ketentuan tersebut dalam pelelangan, ada beberapa keraguan untuk menggunakan ketentuan tersebut dengan alasan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan Peraturan Presiden tentang pengadaan barang dan jasa khususnya pasal 100 ayat 3, belum lagi, pada saat tahapan penjelasan pelelangan banyak penyedia menanyakan hirarki aturan Permen Pu tersebut, dengan mengaitkan bahwa Pepres lebih tinggi kedudukannya daripada Permen Pu . Benarkah antara aturan Permen PU dan Pepres Pengadaan bertentangan, dan bagaimana kedudukan hirarki hukum aturan Permen PU tersebut?  Mari kita bahas, Namun pada kesempatan ini saya tidak hanya  membahas hal tersebut semata, namun lebih menitik beratkan regulasi aturan bahwa antara Peraturan Menteri dan Peraturan Presiden Tentang pengadaan barang dan jasa sama sekali tidak bertentangan dan Permen PU merupakaan aturan Lex specialis derogat, yaitu aturan khusus yang secara makna mengatur lebih khusus , yang mengesampingkan aturan diatasnya selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan , atau lebih ringannya, aturan lex specialislah yang digunakan.

Pada Pasal 1 ayat 1 Pepres 54 Tahun 2010 dan perubahannya, Pengadaan barang dan jasa adalah Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.  Dari penjelasan tersebut, untuk memperoleh pengadaan barang dan jasa tentunya dalam pengadaan dibutuhkan pihak pihak yang memberikan barang jasa tersebut. Pihak Pihak yang memberikan barang dan jasa didalam dunia pengadaan dikenal dengan istilah penyedia barang dan jasa.

Pada Pasal 1 ayat 12 Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/ Jasa Lainnya. Untuk menjadi penyedia tentunya juga akan terikat pada segi aturan, dimana untuk menjadi penyedia, harus memenuhi syarat menjadi penyedia, baik dari sisi hukum peraturan perundangan undangan, administrasi dan aspek sumber daya manusianya. Dari sisi peraturan perundangan undangan sudah diatur pada pasal 19 ayat 1 , bahwa penyedia wajib mentaati peraturan perundang undangan .  Dan apa yang dimaksud dengan peraturan perundangan undangan, dijelaskan pada penjelasannya yaitu “Yang dimaksud dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha/kegiatan sebagai Penyedia Barang/Jasa,antara lain peraturan perundang-undangan dibidang pekerjaan konstruksi, perdagangan, kesehatan, perhubungan, perindustrian, migas, dan pariwisata.

Apa itu peraturan perudang undangan? Salah satu undang undang yang mengatur tentang peraturan perundang undangan diatur oleh Undang undang Nomer 12 tahun 2011, perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang undangan.

Maksud dari dibuatnya Undang undang tersebut adalah :

  • Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
  • Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
  • Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
  • Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Pada pasal 7 ayat 1  Undang undang nomer 12 tahun 2011 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  • Peraturan Pemerintah;
  • Peraturan Presiden;
  • Peraturan Daerah Provinsi; dan
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Jika kita hanya melihat dari sisi pasal 7 tersebut , tentu peraturan menteri tidak merupakan bagian hirarki dari Peraturan perundang undangan, namun keberadaan peraturan menteri diatur kembali pada pasal 8 ayat 1 dan 2 “

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup

  • peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
  • Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dan pada penjelasan pasal 8 ayat 1 Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.

Mari kita membahas peraturan perundang undangan terkait peraturan perundangan undangan yang mengatur jasa Kontruksi yang dikaitkan dengan hirarki peraturan perundang undangan nomer 12 tahun 2011 pasal 7 dan 8 . Apa saja yang masuk dalam peraturan perundang undangan jasa Kontruksi.

  • UU Jasa Kontruksi Nomer 18 Tahun 1999
  • Peraturan Pemerintah, PP 29 Tahun 2000, PP 95 Tahun 2010,
  • Peraturan Menteri, Permen PU 31/PRT/2015, Permen PU 45 Tahun 2007, Permen PU 5 tahun 2014, Permen PU 08 Tahun 2011 dll

Pepres Pengadaan

Sebelum membahas keterkaitan aturan Peraturan Menteri dengan  Undang Undang jasa kontruksi dan Peraturan Pemerintah ,mari kita membahas peraturan yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa.

Untuk peraturan mengenai barang dan jasa satu satunya diatur oleh pepres 54 tahun 2010 dan Peraturan Presiden  Nomer 4 Tahun 2015 perubahaan ke empat.

Secara hirarki , Peraturan menteri tentu jauh dibawah peraturan presiden, atau peraturan presiden diatas peraturan menteri sehingga beberapa pendapat mengatakan tentu yang akan dipakai adalah kententuan peraturan yang kedudukannya lebih tinggi. Untuk melihat aturan mana yang lebih tinggi kedudukan , kita tidak serta merta  dapat melihat dari pejabat siapa  yang mengeluarkan aturan tersebut, namun kita diharuskan melihat atas perintah siapa aturan itu dibuat dan diakui, sesuai pasal 8 ayat 2 diatas..

Mari kita mencoba mengulasnya dari batang tubuh Pepres 54 Tahun 2010 dan perubahannya, pada bagian Mengingat  , Pepres sudah memiliki hubungan dengan peraturan jasa kontruksi yaitu dimana disebutkan salah satu Peraturan Pemerintah tentang jasa Kontruksi yaitu pada  angka 3

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 95)”

Berdasarkan hal tersebut, tentunya terkait kontruksi,  yang tertuang dalam Pepres Pengadaan barang dan jasa,  mempertimbangkan kedudukan peraturan yang mengatur tentang jasa kontruksi, yaitu Peraturan Pemerintah Nomer 59 tahun 2010 tentang jasa kontruksi.

Hubungan UU Jasa Kontruksi, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri

Sekarang  saya akan mencoba mengulas regulasi Peraturan Menteri dengan UU Jasa Kontruksi dan Peraturan Pemerintah.

Undang Undang Jasa Kontruksi Nomer 18 Tahun 1999 tentang jasa Kontruksi

Salah satu pasal yang memerintahkan Peraturan pemerintah sebagai regulasi adalah Pasal 23 ayat 4 Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan pemerintah tentang jasa kontruksi tentunya adalah Peraturan Pemerintah Nomer 29 tahun 2000 dan perubahaannya PP 59 tahun 2010.

Peraturan pemerintah Nomer 59 tahun 2010

Pada pasal 1 ayat 6 yang menyebutkan Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang konstruksi. Tentunya untuk bertanggungjwab dalam bidang kontruksi, dituangkan dalam peraturan menteri yang mengatur tentang jasa kontruksi yaitu tentunya  permen Pu 07/prt/2011 dan perubahannya Nomer 31/prt/2015 Tentang Pedoman Jasa Kontruksi.

Peraturan Menteri Pu 07/prt/2011 dan perubahannya Nomer 31/prt/2015

Pada menimbang huruf b dan c “bahwa dengan telah diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, perlu pengaturan mengenai tatacara pengadaan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi yang jelas dan komprehensif sehingga dapat menjadi pengaturan yang efektif dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, dan pada huruf c “bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri ,

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa peraturan menteri merupakan peraturan lex spesialis derogat, yaitu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum selama tidak terdapat pertentangan dengan aturan diatasnya.

Penjelasan Pasal 100 ayat 3 Pepres 54 Tahun 2010 dan Perubahannya

Mari kita bahas salah satu pasal yang menjadi topik pembahasan diatas, yaitu pasal 100 ayat 3 pepres 54 Tahun 2010 dan perubahannya “

Nilai paket pekerjaan Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/ Jasa Lainnya sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), diperuntukan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil.

Dari pasal tersebut terdapat dua subsantasi yang berbeda, subsantasi pertama adalah nilai pekerjaan dan subsantasi kedua adalah kompentensi pekerjaan .

Untuk subsantasi kompetensi pekerjaan “kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil.

Penjelasannya adalah , Pekerjaan  dengan nilai dibawah 2.5 M dalam hal dibutuhkan kompetensi teknis yang tinggi, SDM dan peralatan yang cukup , dimana tidak dapat dipenuhi oleh usaha mikro, usaha kecil maka paket pekerjaan ini diperuntukan untuk usaha non kecil.  Kalimat ini  tidak terdapat pelarangan untuk usaha kecil ikut, sepanjang usaha mikro, usaha kecil tersebut dapat memenuhi kompetensi teknis , SDM dan peralatan dimaksud , maka tidak dilarang.

Untuk subsantasi nilai “Nilai paket pekerjaan Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/ Jasa Lainnya sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), diperuntukan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil.

Ini menjelaskan, paket pekerjaan diatas 2.5M adalah diperuntukan untuk badan usaha Non kecil ( menengah dan besar )

Pertanyaan pertama, apakah usaha kecil bisa ikut ke usaha non kecil? mengesampingkan Permen PU diatas, dapat saja diartikan sama dengan yang diatas, yaitu sepanjang usaha kecil itu mampu memenuhi segala persyaratan usaha non kecil, maka juga tidak dilarang, karena tidak ada kalimat yang melarang.

Pertanyaan kedua , apakah dapat melarang usaha kecil  untuk masuk keusaha non kecil? Karena tidak ada kalimat yang memperbolehkan usaha kecil untuk masuk ke usaha non kecil jelas juga tidak dilarang.

Maka karena bersifat umum, maka dibuatlah sebuah aturan khusus ( lex spesialis )  yang mengatur khusus ketentuan ini, yaitu Permen PU Nomer 31/prt/2015, pada pasal 6d ayat 5”

Paket pekerjaan konstruksi dengan nilai di atas Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dipersyaratkan hanya untuk pelaksana konstruksi dengan kualifikasi Usaha Menengah.

Berdasarkan aturan diatas,  sudah tentu nilai diatas 50 M, diperuntukan untuk badan usaha besar

Ketentuan Permen PU 31/2015 diatas , tentu didasarkan dari peraturan diatasnya , yaitu pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomer 28 tahun 2000 Tentang usaha dan peran masyarakat jasa kontruksi , juga  menyinggung tentang kriteria resiko pekerjaan yaitu pada pasal 10 berkaitan dengan SDM/Personil SKT dan SKA, “

  • kriteria teknologi sederhana mencakup pekerjaan konstruksi yang menggunakan alat kerja sederhana dan tidak memerlukan tenaga ahli;
  • kriteria teknologi madya mencakup pekerjaan konstruksi yang menggunakan sedikit peralatan berat dan memerlukan sedikit tenaga ahli;
  • kriteria teknologi tinggi mencakup pekerjaankonstruksi yang menggunakan banyak peralatan berat dan banyak memerlukan tenaga ahli dan tenaga terampil.

selain mengacu PP 28 tahun 200 diatas,  permen PU 31/prt/2015 juga mengacu ke  Permen PU 08 Tahun 2011,tentang pembagian subklasifikasi dan Subkualifikasi usaha  bahwa untuk usaha kecil hanya   memiliki personil SKTK dan badan usaha Non kecil memiliki personil SKA

Untuk itu  Permen PU Nomer 31/prt/2015 dengan merujuk pada  Permen PU 08 tahun 2011 diatas yang mengatur  tentang pembagian subklasifikasi dan Subkualifikasi usaha, dan mengacu pada PP Nomer 28 Tahun 2000,  Paket pekerjaan diatas 2.5M hanya dipersyaratkan untuk kualifikasi usaha Non kecil yang pelaksanaan pekerjaannya  wajib memiliki Personil SKA

Jadi dapat disimpulkan bahwa , untuk paket usaha kecil, cukup dipersyaratkan SKTK, dan untuk paket usaha non kecil adalah cukup SKA.

Berdasarkan pembahasan diatas, maka selama tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010,dan perubahannya , maka tidak dilarang, dan dengan tentu didalam penyusunan dokumen pengadaan ditegaskan kembali Pernyataan ketentuan Permen PU diatas, hal ini mengacu pada Perka 15 Tahun 2012 tentang standar dokumen pengadaan yaitu pasal 7 ‘

Standar Dokumen Pengadaan Barangy.Jasa Pemerintah ini dapat disesuaikan oleh Pejabat Pembuat Komitmerr/Pejabat Pengadaany Kelompok Kerja ULP sesuai dengan kebutuhan proses pengadaan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barangy.Jasa Pemerintah dan Petunjuk Teknis pelaksanaannya.

 Link terkait cara pemahaman Kualifikasi 

5 thoughts on “HUBUNGAN PEPRES PENGADAAN VZ PERMEN PU 31/PRT/2015 PADA PEKERJAAN JASA KONTRUKSI, DAN TERKAIT CARA PEMAHAMAN PERMEN PU PASAL 6D AYAT 5 TERKAIT PASAL 100 AYAT 3

  1. no name

    Hmmm..setelah membaca artikel panjang diatas apakah perlem lpjk yg mengatur kualifikasi (k1, k2, dan k3) yg merujuk pd permen pu 2011 ttp tdk dianggap?

    Like

    1. untuk PerLPJK yang mengatur tentang kualifikasi adalah PerLPJK 10 tahun 2013 dan perubahannya perLPJK 10 tahun 2014, dimana merujuk ketentuan yg lebih tinggi yaitu PP 08 tahun 2011 dan 19/2014 perubahannya. kedua aturan ini hanya mengatur tentang subklasifikasi dan subkualifikasi usaha, bukan mengatur teknis jasa kontruksi itu sendiri, Pedoman jasa kontruksi diatur PP 29 tahun 2000 dan perubahaanya dan mengacu ke permen pu 07/prt/2011 dan perubahannya

      Like

  2. Anthony Yenas

    Kutipan dari hukum online pak :
    “Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), sebagaimana kami kutip dari artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:

    1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

    2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);

    3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.”
    jadi apakah bisa dikatakan Permen PU sebagai lex specialis Perpres 54 Pak ? Apakah tidak seharusnya lex specialisnya Perpres juga pak ?

    Like

Leave a comment